Rabu, 26 Januari 2011

Meluruskan Sejarah Perang 10 November (Peran Besar para Ulama Jawa-Madura)

Oleh: Adian Husaini (25 November 2009)

Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah sangat penting negeri ini. Pada hari itu terjadi pertempuran besar antara pejuang – pejuang Indonesia melawan tentara sekutu dan Belanda yang berniat kembali menjajah Indonesia. Namun sayangnya, buku – buku sejarah yang dipelajari generasi masa kini jarang menunjukkan peranan penting ulama dan ummat Islam dalam peristiwa tersebut. Tanpa maksud mengecilkan perang para tokoh seperti Bung Tomo, Prof Dr Moestopo, MayJend Sungkono , Doel Arnowo , dan Roeslan Abdul Gani dalam berjuang melawan pasukan sekutu, namun penting untuk diketahui dan diperhatikan “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan PBNU pada 21-22 1945 Oktober. Sebuah Resolusi yang memfatwakan bahwa perang melawan pasukan asing (kafir) adalah perang suci yang diwajibkan oleh agama (Islam) bagi seluruh kaum muslimin, wa bil khusus yang berada di Surabaya & sekitarnya.

Seperti disinyalir Martin Van Bruinessen (1994), deklarasi, yang kemudian populer sebagai Resolusi Jihad itu, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Umum ditulis dalam sejarah resmi, peran pemuda Sutomo atau populer “Bung Tomo” yang memimpin perlawanan rakyat itu dengan pidato agitatifnya di radio. Berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan yang muncul belakangan ini tidak banyak menyebut peranan ummat Islam (khususnya warga Nahdliyin) dan sebagian lagi bahkan mengabaikan sama sekali.
Pengabaian peran NU ini diantaranya dalam kajian Fredrick, yang berkaitan dengan Surabaya. Dia menyatakan, “Di Surabaya, umum dipercaya bahwa pemimpin revolusioner Bung Tomo, mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari Kiai Wahid Hasyim, pemimpin pesantren terkenal di Jombang, Tebu Ireng”. Tetapi ia tidak menjelaskan kenapa dukungan ini sangat berarti. Wahid Hasyim sendiri waktu itu adalah pemimpin NU yang sangat terkemuka, yang dekat dengan banyak pemimpin nasional. Sementara ayahnya, Kiai Hasyim Asy’ari adalah Ra’is Akbar NU dan sangat dihormati. Fredrick sendiri, menyebut pengaruh Kiai Hasyim terhadap Bung Tomo. Bung Tomo sendiri, mungkin tidak pernah menjadi santri, tetapi diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

Sejarah mencatat, meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan Inggris tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sementara pasukan Inggris terus bergerak untuk menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang dalam PD II, sebagai konsekuensi dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia.
Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal AWS. Mallaby, panglima brigade ke-49 Divisi 23 dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Praktis, suasana Surabaya menjadi genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Mbah Hasyim bertindak cepat, Beliau memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Pada tanggal 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya. Mereka mengadakan musyawarah dengan dipimpin Kiai Wahab Chasbullah dan Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary.
Pada 22 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Pada intinya Resolusi itu menyerukan umat Islam wajib hukumnya mengusir pasukan asing yang ingin menjajah. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu. Mbah Hasyim menyatakan, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah. “….. tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” tegas Mbah Hasyim. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

Pada tanggal 28 Oktober 1945, pasukan Inggris di Surabaya mulai terlibat baku tempat dengan tentara dan milisi Indonesia. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian. Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby beserta pimpinan militer Indonesia berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, terjadi insiden tembak menembak yang menyebabkan Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia
Letjen Sir Philip Christison, pimpinan pasukan Inggris di Jakarta, marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby, mengingat sepanjang terjadinya PD II tidak ada satupun jenderal sekutu yang tewas di semua front pertempuran. Selanjutnya Letjend. Christinson mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya. Pada 9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan. Tepat pada tanggal 10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dari darat, laut dan Udara. Perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Sedemikian dahsyat perlawanan, sampai salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq (kelak menjadi presiden Republik Islam Pakistan) heran menyaksikan para milisi yang bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai seorang muslim, hati Zia-ul-Haq trenyuh, dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap Zia-ul-Haq itu membuat pasukan Inggris kacau. Dalam pertempuran itupula dua pesawat Inggris ditembak jatuh dan salah seorang penumpangnya Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
Setelah 10 hari bertempur, pada 20 November 1945 Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap. Sementara itu lebih dari 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur. Kondisi ini diapresiasi oleh oleh ummat islam di timur tengah dengan menggelar sholat gaib bersama di berbagai tempat di Mekkah, Baghdad, Kairo dan sejumlah tempat lain untuk ummat Islam yang gugur di Surabaya.
*****
Minimnya informasi berkaitan peranan ummat islam dalam perjuangan mengusir penjajah telah membuah generasi muda di negeri ini kurang menghargai jasa para ulama. Bahkan belakangan ini ada opini yang didesign untuk menjelekkan islam dan kaum muslimin. Dimana terdapat tuduhan bahwa para ulama, pesantren dan syariat Islam khususnya jihad adalah biang timbulnya terorisme di negeri ini.
Sungguh jihad bukanlah perbuatan kriminal, jihad adalah ibadah mulia yang bahkan telah terbukti berjasa mengentaskan negeri ini dari jurang penjajahan (fisik). Oleh karena itu sangatlah penting bagi ummat islam untuk terus mengkaji dan mendalami syariat islam agar mencapai suatu pemahaman terhadap islam secara baik dan benar. Dengan pemahaman islam yang benar, insyaAllah seorang muslim dapat senantiasa menilai sebuah fakta secara obyektif, proporsional dan sesuai dengan hukum syara’ sehingga tidak mudah terbawa opini buruk yang sengaja di desain oleh musuh – musuh Islam melalui pemutarbalikan fakta, penipuan sejarah dan pendangkalan aqidah. Wallahu a’lam biashowab

referensi:
http://www.insistnet.com/

2 komentar:

  1. Ijin copy beberapa ya Ustadz ? ana akan sebut sumbernya dari sini....

    BalasHapus
  2. Jadi semangat baca sejarahnya mengenai betapa kaum muslim sangat besar jasanya membantu indonesia agar tidak terjajah lagi.

    BalasHapus